Perjanjian Giyanti: Pembentukan Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta

Perjanjian Giyanti tahun 1755 merupakan peristiwa penting dalam sejarah pembentukan Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di Jawa. Sebelumnya, Kerajaan Mataram Islam mengalami konflik internal yang dipicu oleh intervensi kolonial Belanda, terutama melalui politik adu domba di kalangan bangsawan dan keluarga kerajaan. Pangeran Mangkubumi, Pangeran Pakubuwana III, dan Raden Mas Said saling bersaing untuk menguasai tahta Mataram.

Peran VOC semakin memperkeruh situasi dengan menunjuk Pakubuwana III sebagai penerus Pakubuwana II setelah kematian Raja Mataram tersebut. Konflik antara Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi berujung pada Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini secara resmi membagi Mataram menjadi dua, dengan Kasunanan Surakarta di sebelah timur Sungai Opak dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di sebelah barat Sungai Opak.

Meskipun Perjanjian Giyanti mengakhiri konflik di antara Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi, Raden Mas Said tidak terlibat dalam kesepakatan tersebut. Hal ini menyebabkan pecahnya perang dan akhirnya Pangeran Said menandatangani Perjanjian Salatiga, mengaku sebagai Mangkunegara I. Selain itu, pertemuan antara Sultan Hamengkubuwana I dan Pakubuwana III menghasilkan Kesultanan Yogyakarta pada 13 Maret 1755.

Sebagai penghargaan atas peristiwa sejarah ini, didirikan Monumen Perjanjian Giyanti di Karanganyar, Jawa Tengah. Monumen ini melambangkan perpecahan Mataram dan lahirnya dua kerajaan besar di Jawa, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti menjadi tonggak penting dalam sejarah Jawa yang masih terus dikenang hingga saat ini.

Source link