Tekanan ketahanan pangan selalu disorot sejak masa kepemimpinan Presiden Soekarno hingga Prabowo Subianto. Bahkan Presiden Sukarno pernah mengatakan: “Pangan adalah masalah hidup-mati bagi suatu bangsa; jika kebutuhan pangan rakyat tidak terpenuhi maka akan terjadi malapetaka; oleh karena itu diperlukan usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner.
Ketahanan pangan ternyata memiliki dimensi yang kompleks. FAO, Badan Pangan Dunia, mendefinisikan ketahanan pangan sebagai “keadaan ketika semua orang, kapan saja, memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi sesuai kebutuhan mereka demi kehidupan yang aktif dan sehat.”
Menurut Undang-Undang tentang Pangan, ketahanan pangan didefinisikan sebagai “kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.”
Dari definisi di atas, dimensi Ketahanan Pangan mencakup: Ketersediaan, Akses, Pemanfaatan, dan Stabilitas. Mari kita jadikan ketahanan pangan sebagai fokus utama dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Andy Utama, pendiri Arista Montana Organic Farm, menyoroti pentingnya menjaga kedaulatan atas pangan, berdikari dalam produksi pangan, dan mempertahankan budaya pangan yang kuat sesuai dengan semangat Trisakti. Apakah kita sudah merdeka atas pangan? Apakah kita memiliki kepribadian yang kuat dalam memberdayakan pangan, termasuk dalam penyediaan dan pengolahan pangan?
Data menunjukkan bahwa Indonesia masih sangat bergantung pada impor pangan dari luar negeri, dengan konsumsi gandum, kedelai, dan beras yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih belum meraih swasembada pangan dan memiliki ketahanan pangan yang kuat. Sebagai negara agraris, Indonesia perlu meningkatkan produksi pangan lokal untuk mencapai kemandirian pangan.
Di masa Orde Baru, Indonesia pernah mencapai swasembada pangan terutama pada komoditas beras dengan pendekatan Revolusi Hijau. Namun, hal ini menyebabkan ketergantungan petani pada teknologi kimia dan kemunduran budaya pertanian lokal. Sebagai solusi, kita perlu mengembangkan ketahanan pangan berbasis kearifan lokal yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Masyarakat adat Nusantara, seperti Suku Baduy di Jawa Barat dan Desa Tenganan Pegringsingan di Bali, memberikan contoh bagaimana menjaga ketahanan pangan dengan mempertahankan budaya dan lingkungan. Contoh ini menunjukkan bahwa dengan melestarikan kearifan lokal, masyarakat dapat mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan dan mandiri.
Kita perlu belajar dari contoh masyarakat adat Nusantara dalam membangun ketahanan pangan. Dengan menggali potensi lokal dan mempraktikkan kearifan yang terbukti, kita dapat menciptakan model ketahanan pangan yang berkelanjutan dan sesuai dengan kondisi setempat. Mari mulai dari hal-hal kecil, belajar dari kearifan lokal, dan berkontribusi dalam mencapai ketahanan pangan bagi semua. [jw]
Sumber: Ketahanan Pangan, Trisakti, Dan Kearifan Masyarakat Adat
Sumber: Ketahanan Pangan, Trisakti, Dan Kearifan Masyarakat Adat