Praktik pemberitaan kasus kekerasan seksual di media massa dinilai masih belum ramah anak dan belum memiliki perspektif yang baik terhadap korban. Beberapa berita terkait kasus perkosaan siswi SMP di Kabupaten Jember menunjukkan bahwa masih ada media yang menampilkan foto keluarga dekat korban, sehingga identitas korban menjadi rentan diketahui. Ini bertentangan dengan kode etik jurnalistik yang tidak mengizinkan media untuk menyebutkan identitas korban kejahatan seksual, terutama jika korban masih anak-anak.
Dalam menjalankan tugasnya, jurnalis harus bersikap profesional dengan menghormati hak privasi korban dan menghindari pengungkapan yang bisa memperburuk pengalaman traumatis korban. Penggunaan inisial nama korban sebagai pengganti nama lengkapnya adalah salah satu cara untuk melindungi identitas korban. Selain itu, informasi seperti nama, alamat, umur, dan hubungan keluarga dengan korban atau pelaku juga sebaiknya dirahasiakan untuk mencegah identifikasi korban.
Dalam pemberitaan kejahatan seksual, penting untuk menghindari bahasa yang menghakimi atau menyalahkan korban. Korban sebaiknya disebut sebagai penyintas kecuali ketika mereka belum pulih dari trauma yang mereka alami. Persetujuan dari korban, atau dari keluarga jika korban masih anak-anak, juga perlu diperoleh sebelum mempublikasikan informasi terkait kasus tersebut.
Semua langkah ini penting untuk memastikan bahwa pemberitaan kasus kekerasan seksual dilakukan dengan penuh hormat dan empati terhadap korban, tanpa memperburuk kondisi psikologis mereka.