Pengasuh Pesantren Inklusi Sabilillah Probolinggo, Muhammad Mahin saat menyimak hafalan Al-Qur’an santri berkebutuhan khusus. (Lutfi Hidayat/Suaraindonesia.co.id)
SUARAINDONESIA, PROBOLINGGO – Salah satu pesantren di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur berbeda dari pesantren pada umumnya. Pesantren ini menerima dan mendidik belasan santri berkebutuhan khusus (difabel).
Pesantren Inklusi Sabilillah, begitu nama pesantren ini dikenal. Lokasinya berada di Dusun Krajan Desa Sumberkerang, Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo.
Cikal bakal pesantren ini berawal dari pendirian TPQ Sabilillah oleh pengasuhnya Muhammad Mahin pada awal tahun 2001 lalu. Di awal pendiriannya TPQ Sabilillah menerima 127 santri, 11 di antaranya berkebutuhan khusus. Mulai dari buta, bisu-tuli, disleksia, autis hingga santri yang mengalami lumpuh.
Sekitar tahun 2020, TPQ Sabilillah berkembang menjadi Pesantren Inklusi Sabilillah, karena telah memiliki asrama dan beberapa perlengkapan untuk menginap para santri difabel yang jarak rumahnya jauh dari pesantren.
Di tahun yang sama pengasuh Pesantren Inklusi Sabilillah Muhammad Mahin, yang juga sebagai penyuluh agama Islam Kemenag Kabupaten Probolinggo, terpilih sebagai penyuluh teladan tingkat kabupaten dan Provinsi Jawa Timur.
Mahin kembali terpilih dalam Penyuluh Agama Award Kemenag Jatim, sebagai penyuluh teladan di tahun 2022. Dan di tahun 2024, ia terpilih mewakili Jawa Timur di tingkat nasional Kemenag RI.
“Alhamdulillah di tahun 2020 terpilih penyuluh award tingkat kabupaten dan provinsi. Tahun 2022 terpilih lagi hingga tingkat provinsi, tapi tidak tampil di nasional karena terdampak pandemi. Baru tahun terpilih mewakili Kemenag Jatim ke tingkat nasional di Kemenag RI,” ungkap Mahin, Senin (3/6/2024).
Pesantren Inklusi Sabilillah menggunakan metode sendiri dalam pembelajarannya, yakni metode Abasa. Metode ini khusus dibuat untuk para santri berkebutuhan khusus agar mudah dalam belajar Al-Qur’an.
“Pesantren ini selain dibimbing oleh beberapa pengajar yang dilatih khusus menangani santri difabel, kami juga bermitra dengan beberapa tenaga ahli lainnya seperti psikolog dan teraphis,” terang Mahin.
Disela-sela kesibukannya dalam mengembangkan pesantren inklusi dari segi sarana/prasarana dan akomodasi para santri difabel, Mahin juga sedang mempersiapkan diri dalam ajang Penyuluh Award tingkat nasional.
Hal itu dilakukannya sebagai syi’ar kepada masyarakat luas, agar pesantren dan lembaga pendidikan lain juga memperhatikan kaum difabel karena mereka memiliki hak yang sama dalam bidang pendidikan termasuk pendidikan Al-Qur’an dan agama, bidang pekerjaan dan layanan masyarakat lainnya.
“Saya berharap, ke depan akan semakin banyak pesantren-pesantren lain, lembaga-lembaga lain yang juga memperhatikan kebutuhan santri disablitas ini. Saya juga berharap pemerintah mensupport pesantren inklusi, agar dapat berkembang lebih baik lagi,” pungkasnya.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta: Lutfi Hidayat
Editor: Imam Hairon