Diciptakan kasus yang diperbincangkan, perwira dan komandan yang tidak perlu dicontoh. Menurut saya, mereka bukan pemimpin yang benar. Saya bercerita tentang kasus ini bukan untuk merendahkan orang, melainkan agar kita tidak melakukan hal-hal seperti itu.
Dalam buku ini, saya banyak menceritakan pemimpin yang saya kagumi, baik dari Indonesia maupun luar negeri. Mereka adalah sosok-sosok yang patut untuk dipelajari.
Namun, ada juga kasus di mana perwira dan komandan yang tidak perlu dijadikan contoh. Menurut saya, mereka bukan pemimpin yang benar.
Saya pernah mengalami suatu kejadian saat menjadi Wakil Komandan Batalyon. Saat itu, saya dikagetkan oleh seorang perwira Letnan Dua yang lari ke kantor saya, diikuti oleh seorang Sersan Kepala yang membawa sangkur. Sersan Kepala tersebut mengejar Letnan Dua yang berlari di belakang saya. Saya harus menghadapi Sersan Kepala tersebut.
Saya ingat betul, Sersan Kepala itu besar, berjanggut tebal, dan membawa sangkur. Saya bertanya kepadanya, “Sersan Kepala, mengapa kamu mengejar Letnan tersebut sambil membawa sangkur?”
Sersan Kepala menjawab, “Dia kurang ajar, Pak. Baru kemarin sore, dia keluar dari Akademi Militer dan langsung menghina saya dengan kata-kata yang kasar.”
Saya tidak bertanya lebih lanjut tentang kata-kata apa yang digunakan. Saya langsung mengambil alih situasi dan menyuruh Sersan Kepala untuk menyimpan kembali sangkur itu ke sarungnya dan meninggalkan kantor. Saya mengatakan bahwa tindakan Sersan Kepala tersebut tidak pantas dan melanggar aturan.
Sersan Kepala tersebut menjawab, “Saya sudah lama menjadi prajurit, Pak. Saya tidak bisa menerima perlakuan kasar seperti ini.”
Saya meminta Sersan Kepala untuk meninggalkan ruangan dan kemudian menyampaikan pesan kepada Letnan Dua bahwa, meskipun pangkatnya lebih tinggi, dia harus menghormati prajurit yang sudah lama mengabdi. Dia perlu menyadari bahwa banyak prajurit yang sudah menjalani pengabdian bertahun-tahun. Saya juga mengingatkan bahwa prajurit yang lebih senior tersebut sudah banyak mengalami penderitaan dan pengorbanan, sehingga kita harus bertindak dengan bijaksana dan tidak sembrono.
Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa kita perlu menghormati siapapun yang kita hadapi, terutama anak buah. Meskipun dulu saya terkenal sebagai pemimpin yang keras, saya selalu berusaha untuk adil. Saya marah ketika ada pelanggaran atau ancaman terhadap nyawa orang lain. Namun, reaksi keras saya ditangkap oleh anak buah sebagai tindakan pencegahan terhadap bahaya.
Ketegasan dan kekerasan diri saya adalah upaya untuk melatih dan membentuk kepribadian yang kuat dalam menghadapi situasi perang. Namun, yang terpenting bagi saya adalah memastikan keselamatan dan kesejahteraan anak buah, serta mencapai tugas untuk kepentingan negara. Barulah setelah itu, kita boleh memikirkan kepentingan pribadi masing-masing.
Sumber: Buku 2 Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto